Rabu, 04 Januari 2017

Tugas Softskill Pertemuan 4

Jika kita membicarakan perbedaan e-commerce di dalam negeri dengan negara-negara tetangga atau bahkan dibandingkan dengan Amerika, tentu banyak perbedaannya. Saya akan membandingkan dengan tiga negara, yaitu :

E-commerce Indonesia dengan Amerika

Penduduk Amerika sangat dimanjakan oleh berbagai kemudahan untuk membuat membangun e-commerce. Seperti Yahoo! Store dan QuickEStore, cukup membayar sejumlah uang berkisar dari puluhan sampai ratusan dollar maka situs cantik lengkap dengan shopping cart akan langsung online dalam hitungan menit. Seluruh biaya pengiriman dan pajak antar negara telah dihitung secara otomatis. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Sejauh pengamatan saya belum ada situs belanja Indonesia yang memiliki sistem shopping cart seperti ini (pembayaran menggunakan kartu kredit).
Proses transaksi lokal pada situs-situs belanja Indonesia biasanya terdiri dari beberapa tahapan berikut:
1.      Selesai memilih barang yang diinginkan anda akan di informasikan sejumlah uang yang menjadi biaya transaksi (termasuk biaya kirim). Pengiriman uang ini dilakukan dengan transfer.
2.      Proses transaksi tak hanya sampai disini, anda juga diwajibkan untuk mengirimkan bukti transfer. Baik via fax ataupun email.
3.      Setelah transaksi di konfirmasi barulah barang di kirim. Jasa pengiriman TIKI/kurir adalah cara yang paling sering digunakan.

Pada tahapan pertama, rekening bank BCA adalah rekening yang paling sering digunakan sebagai tujuan transfer oleh berbagai situs belanja online. Ini mungkin karena banyaknya penduduk Indonesia yang menjadi nasabah bank ini dibanding bank-bank lain. Pada tahapan ini para calon pembeli tidak terlalu direpotkan karena transfer uang saat ini dapat dilakukan dengan ATM. Namun hal yang cukup merepotkan adalah keharusan untuk mengirimkan bukti transfer, artinya anda harus menggunakan mesin fax atau memanfaatkan mesin scanner (bila akan dikirim via email). Ini berarti anda harus mengeluarkan usaha ekstra (hal yang seharusnya di minimalkan saat menggunakan e-commerce).


E-commerce Indonesia dengan Vietnam
Meski lebih rendah secara nominal, Vietnam dengan populasi lebih sedikit dari Indonesia justru mampu meraih nilai transaksi signifikan. Industri e-commerce di negara yang pernah dilanda perang Saudara ini bahkan diproyeksikan bakal menembus US$ 1,3 miliar pada dua tahun ke depan.
Laporan terakhir dari Badan Teknologi Informasi dan e-Commerce Vietnam (VECITA), mencatat penjualan e-commerce Vietnam mencapai US$ 700 juta (Rp 6,86 triliun) pada akhir 2012. Diperkirakan nilai transaksi pada 2015 bakal menembus angka setinggi US$ 1,3 miliar (Rp 12,74 triliun).
Dari total US$ 700 juta, hanya 11,8% dari transaksi e-commerce yang pembayarannya tidak menggunakan uang tunai. Jalannya perekonomian di Vietnam didominasi oleh sistem pembayaran cash on delivery seperti dilansir dari Tech in Asia, Selasa (4/6/2013).
Dibanding negara-negara lain di kawasannya, industri e-commerce Vietnam masih terhitung baik mengingat perbedaan jumlah penduduk yang signifikan. Sebagai contoh, Indonesia yang memiliki populasi lebih dari 240 juta, nilai transaksi dari bisnis e-Commerce hanya mencapai sekitar US$ 1 miliar (Rp 9,8 triliun) pada 2012.
Hasil perbandingan dengan negara tetangga, Indonesia, pasar e-commerce Vietnam terhitung sangat besar dan cepat berkembang. Dengan populasi 90 juta jiwa, perusahaan-perusahaan e-commerce Vietnam terus meningkat secara agresif sekaligus melambungkan pasar e-commerce di negerinya.

E-commerce Indonesia dengan Singapura
Negara-negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina dan Indonesia telah memiliki formulasi kebijakan tersendiri yang mengatur transaksi melalui media elektronik. Diantara negara-negara tersebut, Singapura sebagai negara maju di Asia Tenggara memiliki visi untuk menjadi Pusat E-commerce Internasional (International Electronic Commerce Hub), yakni negara dimana seluruh transaksi perdagangan elektronik regional maupun internasional diproses. Tak heran bahwa Singapura memiliki perangkat regulasi mengenai kegiatan e-commerce yang lengkap dan memadai. Sementara itu, dengan bekal 237 juta penduduknya, Indonesia menjadi negara Asia Tenggara yang diproyeksi memiliki prospek menjanjikan dalam bidang e-commerce. Salah satu indikatornya ialah melalui belanja iklan di internet yang pertumbuhannya mencapai 200% dari tahun ke tahunnya. Sayangnya, aturan mengenai e-commerce di Indonesia belum selengkap dan sememadai Singapura.
UU Transaksi Elektronik, Hak Kekayaan Intelektual, Aturan mengenai Alat Bukti Transaksi, Pengaturan atas Konten-Konten dalam New Media, Persoalan Pajak, serta Prosedur Ekspor dan Impor merupakan aturan dasar dan infrastruktur-infrastruktur teknis yang mendukung keamanan dan realisasi e-commerce.
Di Indonesia, fenomena e-commerce dikenal sejak tahun 1996 melalui kemunculan http://www.sanur.com. Situs tersebut merupakan toko buku online pertama di Indonesia (Mansur & Gultom, 2005:144). Kemudian, beberapa layanan e-commerce pun mulai bermunculan. Situs seperti astaga.com, mandirionline.com dan satunet.com sempat populer. Namun, krisis moneter yang menimpa Indonesia sekitar tahun 1998 memperburuk kemajuan bisnis e-commerce.
Belakangan ini, perkembangan e-commerce kembali menyita perhatian. Karena tingkat kunjungannya yang tinggi, jejaring sosial menjadi salah satu basis utama kegiatan e-commerce di Indonesia. Masyarakat Indonesia menjadikan jejaring sosial seperti facebook dan twitter untuk memasarkan produk. Lebih dari separuh anggota kaskus.com yang berjumlah 3.047.0398 memanfaatkan jejaring komunitas tersebut untuk berjual-beli. Maka, selain situs-situs yang murni menyediakan layanan e-commerce seperti plasa.com, tokobagus.com atau tokopedia.com, beberapa situs penyedia layanan e-commerce pada akhirnya menggabungkan konsep perdagangan online dengan sistem jejaring sosial. Misalnya toko buku online bukukita.com, tidak hanya menjual buku tapi juga memfasilitasi para membernya untuk melakukan pertemuan secara langsung. Beberapa layanan e-commerce menyisipkan variasi konten lain disamping penawaran produk, sperti krazymarket.com yang juga menampilkan berita-berita dalam situsnya. Hingga pada tahun 2011 ini, menurut survei yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika, sebanyak 24% penduduk Indonesia melakukan pembelian melalui e-commerce.
Volume perdagangan melalui media elektronik di Indonesia yang kian meningkat bukannya tanpa kendala. Beberapa permasalahan, seperti ketimpangan akses internet di Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa, infrastruktur jaringan kabel dan nirkabel yang kurang memadai, merupakan kendala teknis dalam bisnis melalui e-commerce. Secara umum, terdapat lima faktor lain yang menghambat keberlangsungan kegiatan e-commerce di Indonesia selain akses dan infrastuktur, yaitu kesadaran masyarakat, keamanan dalam bertransaksi, keterbatasan fasilitas internet banking, budaya atau kebiasaan di Indonesia yang belum terbiasa dengan pemanfaatan new media dalam bidang perdagangan, serta hambatan dari pihak penyedia e-commerce yang tidak sepenuhnya memiliki kredibilitas dan dapat dipercaya (Onti-Rug, 2008).
Hambatan-hambatan tersebut seyogyanya dapat diatur melalui sebuah perangkat kebijakan yang memadai. Sementara belum ada kebijakan yang membahas secara komprehensif mengenai e-commerce di Indonesia, beberapa aturan umum terkait perdagangan dan pemanfaatan teknologi informasi dapat dijadikan pegangan bagi warga Indonesia dalam menjalankan e-commerce.
Sesungguhnya, kegiatan e-commerce dan jual-beli konvensional memiliki karakteristik yang jauh berbeda sehingga aturan yang komprehensif mengenai e-commerce di Indonesia mutlak diperlukan. Undang-undang yang ada saat ini belum ada yang mengatur secara spesifik mengenai aturan dasar dan infrastruktur-infrastruktur teknis yang mendukung keamanan dan realisasi e-commerce.
Tanggung jawab atas hukum dan kebijakan mengenai teknologi informasi dan komunikasi berada di bawah naungan Departemen Komunikasi dan Informasi. Namun hingga kini, badan yang secara khusus menangani masalah seputar kegiatan e-commerce di Indonesia belum terbentuk.
Singapura merupakan negara kaya dan maju di Asia Tenggara. Negara tersebut memiliki keunggulan di bidang transportasi, pendidikan, dan keuangan. Keunggulan di bidang sosial-ekonomi tersebut menjadi modal bagi Singapura untuk turut unggul di bidang teknologi, termasuk dalam pemanfaatan new media sebagai sarana perdagangan. Kesiapan Singapura atas kebijakan-kebijakan mengenai e-commerce juga didukung dengan kesiapan infrastruktur yang dimiliki oleh negara tersebut.
Berbeda halnya dengan Indonesia. Dari sisi sosial, Indonesia sebelum reformasi merupakan negara demokrasi semu. Pemerintah Indonesia bertindak otoriter. Akses informasi bagi masyarakat luas begitu sulit dan terbatas. Karenanya, pada masa itu perkembangan new media tidak terdengar gaungnya di Indonesia. Reformasi 1998 akhirnya membuka pintu kebebasan berekspresi dan keterbukaan informasi. Sayangnya, bersamaan dengan jatuhnya rezim diktatorial, krisis moneter melanda Indonesia. Begitu banyak hal yang perlu dibenahi oleh pemerintah Indonesia terutama dalam hal ekonomi, sehingga masalah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi tidak masuk ke dalam prioritas agenda kebijakan.
Perbandingan kebijakan publik adalah studi tentang bagaimana dan mengapa pemerintah yang berbeda melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan dan apa efeknya. Apabila dibandingkan, keputusan pemerintah Singapura untuk membuat perencanaan yang matang mengenai pemanfaatan teknologi sejak tahun 1980-an dengan keputusan pemerintah Indonesia yang baru mengesahkan UU Informasi dan Transaksi Elektronik di tahun 2008 erat kaitannya dengan faktor sosial-ekonomi. Faktor-faktor terssebut akhirnya mempengaruhi ketanggapan pemerintah untuk menyediakan suatu regulasi yang tepat mengenai suatu masalah publik. Efeknya, negara yang merencanakan dan mencanangkan kebijakan dengan lengkap dan memadai akan jauh lebih unggul ketimbang suatu negara yang para pemerintahnya tidak tanggap terhadap kewajibannya sebagai pembuat kebijakan.
Kebijakan publik bukanlah sekedar formulasi atas jawaban sebuah masalah publik. Lebih dari itu, kebijakan publik justru akan jauh lebih berdampak apabila dirumuskan sebelum banyak masalah publik terkait suatu fenomena mengantri untuk diselesaikan. Dalam hal ini, pemerintah dituntut untuk responsif terhadap sekitar. Sebagaimana yang dikatakan Robert Eyestone, bahwa kebijakan publik pada dasarnya merupakan hubungan suatu unit (pemerintah) dengan lingkungannya.




Daftar pustaka :
1. vastavir.wordpress.com/2008/09/16/perbandingan-perkembangan-e-commerce-di-luar-negeri-khususnya-amerika-serikat-dengan-di-indonesia/
2.      bisnis.liputan6.com/read/603957/bisnis-e-commerce-indonesia-kalah-cepat-dari-vietnam
3.      Amalia, Ulya. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. E-Commerce Di Singapura dan Indonesia : Sebuah Perbedaan Kebijakan. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar