Jika kita membicarakan perbedaan
e-commerce di dalam negeri dengan negara-negara tetangga atau bahkan
dibandingkan dengan Amerika, tentu banyak perbedaannya. Saya akan membandingkan
dengan tiga negara, yaitu :
E-commerce Indonesia dengan Amerika

Proses transaksi lokal pada
situs-situs belanja Indonesia biasanya terdiri dari beberapa tahapan berikut:
1. Selesai memilih barang yang
diinginkan anda akan di informasikan sejumlah uang yang menjadi biaya transaksi
(termasuk biaya kirim). Pengiriman uang ini dilakukan dengan transfer.
2. Proses transaksi tak hanya sampai
disini, anda juga diwajibkan untuk mengirimkan bukti transfer. Baik via fax
ataupun email.
3. Setelah transaksi di konfirmasi
barulah barang di kirim. Jasa pengiriman TIKI/kurir adalah cara yang paling
sering digunakan.
Pada tahapan pertama, rekening bank
BCA adalah rekening yang paling sering digunakan sebagai tujuan transfer oleh
berbagai situs belanja online. Ini mungkin karena banyaknya penduduk Indonesia
yang menjadi nasabah bank ini dibanding bank-bank lain. Pada tahapan ini para
calon pembeli tidak terlalu direpotkan karena transfer uang saat ini dapat
dilakukan dengan ATM. Namun hal yang cukup merepotkan adalah keharusan untuk
mengirimkan bukti transfer, artinya anda harus menggunakan mesin fax atau
memanfaatkan mesin scanner (bila akan dikirim via email). Ini berarti anda
harus mengeluarkan usaha ekstra (hal yang seharusnya di minimalkan saat
menggunakan e-commerce).
E-commerce Indonesia dengan Vietnam
Meski lebih rendah secara nominal,
Vietnam dengan populasi lebih sedikit dari Indonesia justru mampu meraih nilai
transaksi signifikan. Industri e-commerce di negara yang pernah dilanda perang
Saudara ini bahkan diproyeksikan bakal menembus US$ 1,3 miliar pada dua tahun
ke depan.
Laporan
terakhir dari Badan Teknologi Informasi dan e-Commerce Vietnam (VECITA),
mencatat penjualan e-commerce Vietnam mencapai US$ 700 juta
(Rp 6,86 triliun) pada akhir 2012. Diperkirakan nilai transaksi pada 2015 bakal
menembus angka setinggi US$ 1,3 miliar (Rp 12,74 triliun).
Dari total US$ 700 juta, hanya 11,8%
dari transaksi e-commerce yang pembayarannya tidak menggunakan uang tunai.
Jalannya perekonomian di Vietnam didominasi oleh sistem pembayaran cash on
delivery seperti dilansir dari Tech in Asia, Selasa (4/6/2013).
Dibanding negara-negara lain di
kawasannya, industri e-commerce Vietnam masih terhitung baik mengingat
perbedaan jumlah penduduk yang signifikan. Sebagai contoh, Indonesia yang
memiliki populasi lebih dari 240 juta, nilai transaksi dari bisnis e-Commerce
hanya mencapai sekitar US$ 1 miliar (Rp 9,8 triliun) pada 2012.
Hasil perbandingan dengan negara
tetangga, Indonesia, pasar e-commerce Vietnam terhitung sangat besar dan cepat
berkembang. Dengan populasi 90 juta jiwa, perusahaan-perusahaan e-commerce
Vietnam terus meningkat secara agresif sekaligus melambungkan pasar e-commerce
di negerinya.
E-commerce Indonesia dengan Singapura
Negara-negara ASEAN seperti
Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina dan Indonesia telah memiliki formulasi
kebijakan tersendiri yang mengatur transaksi melalui media elektronik. Diantara
negara-negara tersebut, Singapura sebagai negara maju di Asia Tenggara memiliki
visi untuk menjadi Pusat E-commerce Internasional (International Electronic
Commerce Hub), yakni negara dimana seluruh transaksi perdagangan elektronik
regional maupun internasional diproses. Tak heran bahwa Singapura memiliki
perangkat regulasi mengenai kegiatan e-commerce yang lengkap dan memadai.
Sementara itu, dengan bekal 237 juta penduduknya, Indonesia menjadi negara Asia
Tenggara yang diproyeksi memiliki prospek menjanjikan dalam bidang e-commerce.
Salah satu indikatornya ialah melalui belanja iklan di internet yang
pertumbuhannya mencapai 200% dari tahun ke tahunnya. Sayangnya, aturan mengenai
e-commerce di Indonesia belum selengkap dan sememadai Singapura.
UU Transaksi Elektronik, Hak
Kekayaan Intelektual, Aturan mengenai Alat Bukti Transaksi, Pengaturan atas
Konten-Konten dalam New Media, Persoalan Pajak, serta Prosedur Ekspor dan Impor
merupakan aturan dasar dan infrastruktur-infrastruktur teknis yang mendukung
keamanan dan realisasi e-commerce.
Di Indonesia, fenomena e-commerce
dikenal sejak tahun 1996 melalui kemunculan http://www.sanur.com. Situs
tersebut merupakan toko buku online pertama di Indonesia (Mansur & Gultom,
2005:144). Kemudian, beberapa layanan e-commerce pun mulai bermunculan. Situs
seperti astaga.com, mandirionline.com dan satunet.com sempat populer. Namun,
krisis moneter yang menimpa Indonesia sekitar tahun 1998 memperburuk kemajuan
bisnis e-commerce.
Belakangan ini, perkembangan
e-commerce kembali menyita perhatian. Karena tingkat kunjungannya yang tinggi,
jejaring sosial menjadi salah satu basis utama kegiatan e-commerce di
Indonesia. Masyarakat Indonesia menjadikan jejaring sosial seperti facebook dan
twitter untuk memasarkan produk. Lebih dari separuh anggota kaskus.com yang
berjumlah 3.047.0398 memanfaatkan jejaring komunitas tersebut untuk
berjual-beli. Maka, selain situs-situs yang murni menyediakan layanan e-commerce
seperti plasa.com, tokobagus.com atau tokopedia.com, beberapa situs penyedia
layanan e-commerce pada akhirnya menggabungkan konsep perdagangan online dengan
sistem jejaring sosial. Misalnya toko buku online bukukita.com, tidak hanya
menjual buku tapi juga memfasilitasi para membernya untuk melakukan pertemuan
secara langsung. Beberapa layanan e-commerce menyisipkan variasi konten lain
disamping penawaran produk, sperti krazymarket.com yang juga menampilkan
berita-berita dalam situsnya. Hingga pada tahun 2011 ini, menurut survei yang
dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika, sebanyak 24% penduduk
Indonesia melakukan pembelian melalui e-commerce.
Volume perdagangan melalui media
elektronik di Indonesia yang kian meningkat bukannya tanpa kendala. Beberapa
permasalahan, seperti ketimpangan akses internet di Pulau Jawa dan di luar
Pulau Jawa, infrastruktur jaringan kabel dan nirkabel yang kurang memadai,
merupakan kendala teknis dalam bisnis melalui e-commerce. Secara umum, terdapat
lima faktor lain yang menghambat keberlangsungan kegiatan e-commerce di
Indonesia selain akses dan infrastuktur, yaitu kesadaran masyarakat, keamanan
dalam bertransaksi, keterbatasan fasilitas internet banking, budaya atau
kebiasaan di Indonesia yang belum terbiasa dengan pemanfaatan new media dalam
bidang perdagangan, serta hambatan dari pihak penyedia e-commerce yang tidak
sepenuhnya memiliki kredibilitas dan dapat dipercaya (Onti-Rug, 2008).
Hambatan-hambatan tersebut
seyogyanya dapat diatur melalui sebuah perangkat kebijakan yang memadai.
Sementara belum ada kebijakan yang membahas secara komprehensif mengenai
e-commerce di Indonesia, beberapa aturan umum terkait perdagangan dan
pemanfaatan teknologi informasi dapat dijadikan pegangan bagi warga Indonesia
dalam menjalankan e-commerce.
Sesungguhnya, kegiatan e-commerce
dan jual-beli konvensional memiliki karakteristik yang jauh berbeda sehingga
aturan yang komprehensif mengenai e-commerce di Indonesia mutlak diperlukan.
Undang-undang yang ada saat ini belum ada yang mengatur secara spesifik
mengenai aturan dasar dan infrastruktur-infrastruktur teknis yang mendukung
keamanan dan realisasi e-commerce.
Tanggung jawab atas hukum dan
kebijakan mengenai teknologi informasi dan komunikasi berada di bawah naungan
Departemen Komunikasi dan Informasi. Namun hingga kini, badan yang secara
khusus menangani masalah seputar kegiatan e-commerce di Indonesia belum
terbentuk.
Singapura merupakan negara kaya dan
maju di Asia Tenggara. Negara tersebut memiliki keunggulan di bidang transportasi,
pendidikan, dan keuangan. Keunggulan di bidang sosial-ekonomi tersebut menjadi
modal bagi Singapura untuk turut unggul di bidang teknologi, termasuk dalam
pemanfaatan new media sebagai sarana perdagangan. Kesiapan Singapura atas
kebijakan-kebijakan mengenai e-commerce juga didukung dengan kesiapan
infrastruktur yang dimiliki oleh negara tersebut.
Berbeda halnya dengan Indonesia.
Dari sisi sosial, Indonesia sebelum reformasi merupakan negara demokrasi semu.
Pemerintah Indonesia bertindak otoriter. Akses informasi bagi masyarakat luas
begitu sulit dan terbatas. Karenanya, pada masa itu perkembangan new media
tidak terdengar gaungnya di Indonesia. Reformasi 1998 akhirnya membuka pintu
kebebasan berekspresi dan keterbukaan informasi. Sayangnya, bersamaan dengan
jatuhnya rezim diktatorial, krisis moneter melanda Indonesia. Begitu banyak hal
yang perlu dibenahi oleh pemerintah Indonesia terutama dalam hal ekonomi,
sehingga masalah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi tidak masuk ke
dalam prioritas agenda kebijakan.
Perbandingan kebijakan publik adalah
studi tentang bagaimana dan mengapa pemerintah yang berbeda melakukan atau
tidak melakukan suatu tindakan dan apa efeknya. Apabila dibandingkan, keputusan
pemerintah Singapura untuk membuat perencanaan yang matang mengenai pemanfaatan
teknologi sejak tahun 1980-an dengan keputusan pemerintah Indonesia yang baru
mengesahkan UU Informasi dan Transaksi Elektronik di tahun 2008 erat kaitannya
dengan faktor sosial-ekonomi. Faktor-faktor terssebut akhirnya mempengaruhi
ketanggapan pemerintah untuk menyediakan suatu regulasi yang tepat mengenai
suatu masalah publik. Efeknya, negara yang merencanakan dan mencanangkan
kebijakan dengan lengkap dan memadai akan jauh lebih unggul ketimbang suatu
negara yang para pemerintahnya tidak tanggap terhadap kewajibannya sebagai
pembuat kebijakan.
Kebijakan publik bukanlah sekedar
formulasi atas jawaban sebuah masalah publik. Lebih dari itu, kebijakan publik
justru akan jauh lebih berdampak apabila dirumuskan sebelum banyak masalah
publik terkait suatu fenomena mengantri untuk diselesaikan. Dalam hal ini,
pemerintah dituntut untuk responsif terhadap sekitar. Sebagaimana yang
dikatakan Robert Eyestone, bahwa kebijakan publik pada dasarnya merupakan
hubungan suatu unit (pemerintah) dengan lingkungannya.
Daftar pustaka :
1. vastavir.wordpress.com/2008/09/16/perbandingan-perkembangan-e-commerce-di-luar-negeri-khususnya-amerika-serikat-dengan-di-indonesia/
2. bisnis.liputan6.com/read/603957/bisnis-e-commerce-indonesia-kalah-cepat-dari-vietnam
3. Amalia, Ulya. Jurnal Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik. E-Commerce Di Singapura dan Indonesia : Sebuah Perbedaan
Kebijakan. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar